Minggu, 21 Mei 2017



Contoh-contoh bhakti yang spontan mudah dilihat dalam tingkah laku rekan-rekan Kṛṣṇa yang langsung bergaul dengan Dia di Vṛndāvana. Tingkah laku spontan para penduduk Vṛndāvana berhubungan dengan Kṛṣṇa disebut rāgānugā. Insan-insan tersebut tidak perlu memelajari sesuatu tentang bhakti; mereka sudah sempurna dalam pelaksanaan segala prinsip aturan dan sudah mencapai bhakti yang spontan kepada Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, anak-anak gembala sapi yang bermain bersama Kṛṣṇa tidak harus belajar bagaimana cara bermain bersama Kṛṣṇa melalui pertapaan, kesederhanaan maupun latihan yoga. Mereka sudah lulus segala ujian prinsip-prinsip aturan dalam penjelmaannya yang lalu, dan sebagai hasilnya, sekarang mereka sudah diangkat sampai kedudukan pergaulan dengan Kṛṣṇa secara langsung sebagai kawan-kawan yang disayangi-Nya. Sikap mereka yang spontan disebut rāgānugā-bhakti.
Śrī Rūpa Gosvāmī sudah mendefinisikan rāgānugā-bhakti sebagai rasa tertarik yang spontan terhadap sesuatu sambil khusuk sepenuhnya berpikir tentang obyek itu, dengan keinginan cinta yang sangat tinggi. Bhakti yang dilakukan dalam golongan rāgānugā dapat dibagi lagi menjadi dua golongan: golongan pertama disebut “rasa indera-indera tertarik”, sedangkan yang lain disebut “hubungan pribadi”.
Berhubungan dengan hal ini, terdapat pernyataan dari Nārada Muni kepada Yudhiṣṭhira dalam Śrīmad-Bhāgavatam, Skanda Tujuh, Bab Satu, sloka 30. Dalam sloka tersebut, Nārada berkata, “Baginda Raja yang saya muliakan, ada banyak penyembah yang pertama-tama tertarik kepada Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa dengan tujuan kepuasan indera-indera, karena iri kepada Dia, karena takut kepada Dia atau karena ingin bergaul dengan Dia dalam hubungan kasih sayang. Akhirnya berbagai rasa tertarik tersebut dibebaskan dari segala pengaruh material, kemudian berangsur-angsur penyembah mengembangkan cinta kasih rohani dan mencapai tujuan hidup tertinggi yang diinginkan oleh penyembah-murni.”
Para gopī dapat dianggap contoh-contoh bhakti yang spontan dalam hubungan rasa indera-indera tertarik. Para gopī adalah gadis-gadis muda dan Kṛṣṇa adalah seorang pemuda. Secara lahiriah, kelihatannya para gopī tertarik kepada Kṛṣṇa berdasarkan hawa nafsu. Begitu pula, Raja Kaḿsa tertarik kepada Kṛṣṇa karena rasa takut. Kaḿsa selalu takut kepada Kṛṣṇa, sebab sudah diramalkan bahwa Kṛṣṇa, putra adik Kaḿsa, akan membunuh Kaḿsa. Śiṣupāla juga selalu iri kepada Kṛṣṇa. Dinasti keturunan Raja Yadu mempunyai hubungan keluarga dengan Kṛṣṇa. Karena itu, mereka selalu berpikir tentang Kṛṣṇa sebagai salah seorang anggota keluarganya. Segala jenis penyembah tersebut mempunyai rasa tertarik yang spontan kepada Kṛṣṇa, dalam golongan-golongan yang berbeda, dan mereka sama-sama mencapai tujuan hidup yang diinginkan.
Rasa tertarik kepada Kṛṣṇa dalam hati para gopī dan rasa sayang dari para anggota keluarga besar Yadu kedua-duanya diakui sebagai rasa tertarik yang bersifat spontan, atau rāgānugā. Rasa tertarik kepada Kṛṣṇa dengan rasa takut yang ada dalam hati Kaḿsa dan rasa tertarik kepada Kṛṣṇa dengan rasa iri yang ada dalam hati Śiṣupāla tidak diakui sebaga bhakti, sebab sikap-sikap mereka tidak baik. Pelayanan suci hanya dapat dilak-sanakan dengan sikap mental yang baik. Karena itu menurut Śrīla Rūpa Gosvāmī, rasa tertarik seperti Kaḿsa dan Śiṣupāla tersebut tidak diakui sebagai rasa tertarik dalam bhakti. Sekali lagi, Śrīla Rūpa Gosvāmī menganalisis rasa kasih sayang para anggota keluarga besar Yadu. Kalau rasa tertarik tersebut pada tingkat persahabatan, maka rasa itu merupakan bhakti yang spontan, tetapi kalau rasa tertarik tersebut berada pada tingkat prinsip-prinsip aturan, maka rasa itu bukan bhakti yang spontan. Kasih sayang hanya diakui termasuk golongan bhakti yang murni kalau kasih sayang itu mencapai tingkat bhakti yang spontan.
Mungkin orang mengalami kesulitan dalam memahami bahwa para gopī dan Kaḿsa mencapai tujuan yang sama. Karena itu, hal ini harus dipahami dengan jelas, sebab sikap-sikap Kaḿsa dan Śiṣupāla berbeda dari sikap para gopī. Walaupun dalam segala hal ini, titik fokus ialah Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, dan segala penyembah yang bersangkutan diangkat sampai dunia spiritual, namun masih ada perbedaan antara dua golongan roh tersebut. Dalam Śrīmad-Bhāgavatam, Skanda Satu, dinyatakan bahwa Kebenaran Mutlak adalah satu dan Dia terwujud sebagai Brahman yang impersonal, Paramātmā (Roh Yang Utama) dan Bhagavān (Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa). Di sinilah terdapat perbedaan spiritual. Walaupun Brahman, Paramātmā dan Bhagavān adalah Kebenaran Mutlak yang tunggal dan sama, penyembah seperti Kaḿsa atau Śiṣupāla hanya dapat mencapai cahaya Brahman. Mereka tidak dapat menginsafi Paramātmā atau Bhagavān. Itulah perbedaannya.
Hal tersebut dapat diibaratkan sebagai bola matahari dan sinar matahari: kalau seseorang berada di bawah sinar matahari, itu tidak berarti ia sudah pergi ke bola matahari. Suhu bola matahari berbeda dari suhu sinar matahari. Orang yang sudah terbang melewati sinar matahari dalam pesawat terbang jet atau pesawat antariksa belum tentu pergi ke bola matahari. Walaupun sinar matahari dan bola matahari sebenarnya satu dan sama saja, namun ada perbedaan, sebab yang satu merupakan energi sedangkan yang lain sumber energi. Seperti itu pula Kebenaran Mutlak dan cahaya badan-Nya adalah satu dan berbeda pada waktu yang sama. Kaḿsa dan Śiṣupāla mencapai Kebenaran Mutlak, tetapi mereka tidak diizinkan memasuki tempat tinggal Goloka Vṛndāvana. Orang impersonalis dan para musuh Kṛṣṇa diizinkan memasuki kerajaan-Nya karena mereka tertarik kepada Tuhan, tetapi mereka tidak diizinkan memasuki planet-planet Vaikuṇṭha atau planet Goloka Vṛndāvana milik Tuhan Yang Maha Esa. Memasuki kerajaan dan memasuki istana raja tidak sama artinya.
Śrīla Rūpa Gosvāmī sedang berusaha di sini untuk me-nguraikan berbagai tujuan yang dicapai oleh orang impersonalis dan orang personalis. Pada umumnya, para impersonalis membenci Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa dan mereka hanya diizinkan memasuki Brahman yang impersonal, kalau mereka sudah mencapai kesempurnaan spiritual. Para filosof impersonal sama seperti musuh-musuh Tuhan dalam salah satu arti kata, sebab orang yang sama sekali memusuhi Kṛṣṇa dan orang impersonalis kedua-duanya hanya diizinkan memasuki cahaya brahmajyoti yang impersonal. Karena itu, harus dimengerti bahwa mereka termasuk golongan yang serupa. Sebenarnya, orang impersonalis adalah musuh-musuh Tuhan, sebab mereka tidak tahan melihat kehebatan Tuhan yang tiada taranya. Mereka selalu berusaha menempatkan dirinya sejaiar dengan Tuhan. Itu disebabkan oleh sikap iri hati mereka. Śrī Caitanya Mahāprabhu sudah memaklumkan bahwa orang impersonalis berbuat kesalahan terhadap Tuhan. Akan tetapi, Tuhan sangat murah hati sehingga walaupun mereka musuh-musuh-Nya, mereka diizinkan masuk kerajaan spiritual dan tinggal dalam brahmajyoti yang impersonal, yakni cahaya Yang Mutlak yang tidak mengandung keanekawarnaan.
Kadang-kadang orang impersonalis berangsur-angsur me-ngangkat diri sampai paham personalitas Tuhan. Ini dibenarkan dalam Bhagavad-gītā: “Sesudah dilahirkan dan meninggal berulang kali, orang yang sungguh-sungguh memiliki pengetahuan berserah-diri kepada-Ku.” Melalui penyerahan diri itu, para impersonalis dapat diangkat sampai Vaikuṇṭhaloka (planet spiritual). Di sana, sebagai roh yang sudah berserah-diri, ia mendapat badan yang mempunyai ciri-ciri seperti badan Tuhan.
Dalam Brahmāṇḍa Purāṇa dinyatakan, “Orang yang sudah mencapai pembebasan dari pencemaran material dan para rākṣasa yang dibunuh oleh Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa diserap dalam paham hidup Brahman dan tinggal di angkasa spiritual brahmajyoti.” Angkasa spiritual tersebut berada jauh di luar angkasa material. Dibenarkan pula dalam Bhagavad-gītā bahwa di luar angkasa material ada angkasa lain yang kekal. Para musuh dan orang impersonalis barangkali diizinkan mema-suki cahaya Brahman tersebut, tetapi para penyembah Kṛṣṇa diangkat sampai mencapai planet-planet spiritual. Oleh karena para penyembah-murni sudah mengembangkan bhakti-nya yang spontan terhadap Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, mereka diperkenankan memasuki planet-planet spiritual untuk menikmati kebahagiaan rohani dalam pergaulan dengan Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam Śrīmad-Bhdgavatam, Skanda Sepuluh, Bab Delapan Puluh Tujuh, sloka 23, kepribadian Veda memanjatkan doa kepada Tuhan sebagai berikut: “Tuhan yang hamba cintai, para yogī bermeditasi pada bentuk-Mu yang terlokalisir, dan dengan demikian mereka mencapai kesempurnaan spiritual manunggal dalam brahmajyoti yang impersonal. Orang yang memperlakukan Engkau sebagai musuh mencapai kesempurnaan yang sama tanpa bermeditasi. Para gopī, yang dipeluk oleh tangan-Mu yang bentuknya seperti ular dan yang mempunyai sikap-sikap nafsu seperti itu, juga mencapai kesempurnaan yang sama. Tetapi kami, selaku berbagai dewa yang bertugas menguasai berbagai bagian pengetahuan Veda, selalu mengikuti jejak langkah para gopī. Dengan demikian, kami bercita-cita mencapai kesempurnaan yang sama.” Dengan istilah “kesempurnaan yang sama”, kita harus selalu ingat perumpamaan mengenai matahari dan sinar matahari. Orang impersonalis dapat manunggal ke dalam brahmajyoti yang sifatnya seperti matahari, sedangkan orang yang mencintai Personalitas Yang Paling Utama memasuki tempat tinggal Tuhan yang tertinggi, yaitu Goloka Vṛndāvana.

“Sikap nafsu” para gopī bukan berarti sejenis kenikmatan hubungan suami istri. Śrīla Rūpa Gosvāmī menjelaskan bahwa “keinginan nafsu” tersebut menunjukkan sikap pergaulan penyembah tertentu bersama Kṛṣṇa. Setiap penyembah pada tahap kesempurnaannya mempunyai rasa tertarik kepada Tuhan secara spontan. Rasa tertarik itu kadang-kadang disebut “keinginan nafsu” penyembah yang bersangkutan. Nafsu tersebut adalah keinginan yang sangat besar dalam hati penyembah untuk melayani Tuhan dalam peran tertentu. Keinginan tersebut barangkali kelihatannya seperti keinginan untuk menikmati Tuhan, tetapi keinginan itu sesungguhnya usaha melayani Tuhan dalam peran itu. Misalnya, seorang penyembah barangkali bercita-cita bergaul dengan Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa sebagai gembala sapi yang menjadi kawan-Nya. Penyembah tersebut akan ingin melayani Tuhan dengan membantu Dia dalam menggembalakan sapi-sapi di padang rumput. Ini mungkin kelihatannya keinginan untuk menikmati pergaulan Tuhan, tetapi sebenarnya itu adalah bhakti yang spontan, yakni melayani Dia dengan cara membantu Dia dalam menggembalakan sapi-sapi spiritual.